GpGiTSWiBSCpBSA6BSriTfdoGd==
Light Dark
KAHMI, Subkultur Keindonesiaan? Refleksi Milad ke-59

KAHMI, Subkultur Keindonesiaan? Refleksi Milad ke-59

×

Opini

Oleh: Salihudin M. Awal 
Presidium Majelis Wilayah Korps Alumni HMI (MW KAHMI) Sulawesi Tengah


Kalau dihitung secara formal, sejak 1966 sampai hari ini KAHMI sudah berusia 59 tahun. Tapi kalau kita tarik garis panjang sejarahnya, sebenarnya jejak itu lebih tua. Ia bisa ditelusuri sejak Jong Islamieten Bond (JIB) berdiri pada 1925.

Kenapa saya katakan demikian? Karena baik JIB, HMI (lahir 1947), maupun KAHMI, meskipun berbeda zaman dan redaksi, punya alur yang sama, menghadirkan Islam sebagai etika moral dalam kehidupan kebangsaan. Sejarawan Harry J. Benda (1958) menulis, organisasi Islam awal abad 20 memang menjadi motor kesadaran nasional modern. 

HMI melanjutkannya dengan sistem kaderisasi yang lebih rapi dan KAHMI kemudian hadir sebagai rumah alumni untuk menjaga kesinambungan.

Subkultur atau Kultur Bangsa?

Pertanyaan kritisnya begini, apakah HMI dan KAHMI bisa disebut subkultur? Dalam kajian sosiologi, subkultur biasanya identik dengan kelompok yang punya gaya, norma atau simbol sendiri, berbeda dari arus utama. Dick Hebdige (1979) menulisnya dalam Subculture: The Meaning of Style. Tapi justru uniknya, HMI dan KAHMI tidak sekadar berbeda, malah ikut membentuk arus utama.

Robert Hefner (2000) dalam bukunya Civil Islam menyebut, Islam Indonesia menemukan wajahnya yang ramah demokrasi dan pluralisme. Nah, HMI dan KAHMI ikut memainkan peran itu. Jadi, terlalu sempit kalau menyebutnya hanya subkultur. Ia lebih tepat disebut bagian dari kultur bangsa itu sendiri.

Arena Sosial dan Intelektual Subaltern

Di sinilah pentingnya melihat KAHMI melalui lensa teori subaltern intelektual. Ranajit Guha (1982) menekankan bahwa sejarah bangsa sering ditulis dari perspektif elit, sehingga suara kelompok yang “di bawah” menjadi terpinggirkan. Dalam konteks Indonesia, subaltern itu bisa berarti petani, buruh, masyarakat adat, atau komunitas miskin kota, semua yang jarang hadir dalam narasi resmi pembangunan.

Sementara itu, Antonio Gramsci (1971) berbicara tentang organic intellectual—intelektual yang lahir dari rahim rakyat dan berbicara dengan bahasa rakyat, bukan intelektual yang hanya bergaul di menara gading.

Dimana posisi KAHMI?

KAHMI jelas sudah menjadi bagian dari elit bangsa. Banyak alumninya duduk di birokrasi, politik, dan bisnis. Itu prestasi, tetapi sekaligus jebakan. Sebab semakin dekat dengan pusat kuasa, semakin mudah pula melupakan suara subaltern. Jika itu terjadi, KAHMI berhenti jadi “intelektual organik” dan berubah menjadi “intelektual istana.”

Padahal, tugas historis KAHMI mestinya justru menjadi jembatan antara elit dan rakyat. Dalam bahasa Guha, KAHMI harus membantu menghadirkan “suara yang tak terdengar” ke meja kebijakan. Kalau tidak, organisasi ini hanya mengulang pola hegemoni lama—ramai di atas, sunyi di bawah.

Tantangan itulah yang terasa nyata di usia 59 tahun. Banyak warga KAHMI lebih sibuk pada romantisme masa lalu, reuni dan nostalgia, ketimbang menjawab krisis hari ini: ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan disrupsi teknologi. Anthony Giddens (1991) menyebut, organisasi modern harus reflektif, kalau tidak, ia akan ditinggalkan zaman.

Refleksi ini makin relevan kalau kita kaitkan dengan subaltern. Selama rakyat kecil terus terpinggirkan, selama suara masyarakat adat tidak terdengar, selama kaum miskin kota hanya jadi angka statistik, selama itu pula peran KAHMI sebagai intelektual organik dipertanyakan.

Jalan ke Depan: Revolusi KAHMI

Reposisi KAHMI sudah mendesak. Ada tiga hal yang bisa menjadi jalan revolusi. 

Pertama, memperkuat basis intelektual. Forum alumni harus jadi ruang lahirnya gagasan baru, bukan sekadar nostalgia. KAHMI perlu tampil sebagai intelektual organik yang mampu menyerap pengalaman rakyat dan mengubahnya menjadi wacana kebijakan.

Kedua, menghidupkan kembali semangat pemberdayaan sosial. Alumni yang tersebar di berbagai profesi bisa bekerja sama menciptakan program konkret: pendampingan UMKM, literasi digital atau beasiswa kader muda. Semua itu penting agar KAHMI tidak hanya bicara dari atas, tetapi juga bekerja di bawah.

Ketiga, meneguhkan etika politik baru. Politik bukan sekadar rebutan kursi, tapi ruang pengabdian. Dengan jejaring elitnya, KAHMI bisa menjadi contoh etika politik yang inklusif, politik yang mendengar suara subaltern, bukan politik yang hanya melayani oligarki.

Penutup

Milad ke-59 mestinya bukan sekadar perayaan, tetapi ruang refleksi. Menyebut KAHMI hanya sebagai subkultur jelas terlalu sempit, tapi menganggapnya sekadar jaringan silaturahmi juga merendahkan. Ia adalah bagian dari kultur keindonesiaan yang punya beban sejarah besar.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apa yang sudah KAHMI capai, melainkan apa yang masih bisa KAHMI lakukan untuk Indonesia. 

Jika KAHMI berani menegaskan dirinya sebagai intelektual organik, ia bisa menjadi suara bagi mereka yang lama dibungkam. Kalau tidak, KAHMI hanya akan dikenang sebagai elit yang kehilangan denyut rakyatnya.

0Komentar