GpGiTSWiBSCpBSA6BSriTfdoGd==
Light Dark
Assoc Prof, Pengganti Antar Waktu?

Assoc Prof, Pengganti Antar Waktu?

×

Opini

 By: Muhd Nur Sangadji

Satu waktu saya menulis di bawah judul "They Call Me Profesor. Tulisan ini saya dedikasikan untuk mereka yang sering bertanya kepada akademisi dengan pertanyaan singkat, sudah Profesor? Tulisan ini mendapat respon lebih kurang dua ribuan ilmuan Indonesia.

Kita memang sedang hidup di era dimana demam penulisan dan penyebutan gelar begitu marak terjadi. Karena itu dunia akademik lalu dikotori dengan berbagai upaya untuk memperoleh gelar tersebut. Legal maupun asal-asalan. Inilah isu yang paling heboh sejagat Indonesia. Tentang kepalsuan gelar (ijazah). Sangat heboh karena menimpa mantan Presiden Republik Indonesia. Satu jabatan yang tidak ada lagi yang lebih tinggi darinya. Bangsa ini sedang mengalami satu ujian berat. Yaitu ujian tentang kejujuran.

Satu pagi, kolega akademikku, Dr. Abdul Hadid,  mengirimkan pamflet seminar internasional, pematerinya berjabatan akademik profesor. Tapi, tertulis Assoc Profesor. Hadid kasih catatan. Coba perhatikan gelarnya. Sesungguhnya, yang dia maksudkan adalah jabatannya. Yaitu, jabatan akademik selaku Assoc Profesor. Di luar negeri, jabatan yg ini sudah sangat lazim dan biasa disematkan orang.

Tapi, Indonesia belum terlalu populer. Padahal, sejak 6 tahun lalu sudah ada regulasi yang mengaturnya.

Sekaligus menunjukkan apa itu Assoc Profesor ? Kepmenristekdikti nomor 164/M/KPT/2019, tentang penyebutan gelar atau jabatan akdemik dosen sesuai jenjang jabatan dan pangkat.  Ada "lecturer",  "Assistant Professor" (asisten), "Acossiate Professor" (profesor muda/madya) dan  "Professor (full professor)". 

Ada satu  universitas terkemuka di Thailand hanya dipimpin oleh satu orang "full Profesor". Sementara pembantu rektor dan lainnya berstatus jabatan akademik Assiten Profesor dan Assoc Profesor. Jadi, secara regulatif dan komparatif, layak digunakan. Saya selalu berkelakar. Lebih baik yang ini saja,  dibandingkan gelar tambahan yang lain, seperti Asean Engineering. Barangkali nanti adalagi Eropa Engineering, Afrika Engineering dll.  Menunurutku, gelar yang ini lebih elegan disandang. Walau diakui, dari segi rekognisi, tunjangannya tidak sebanding dengan "Full Profesor". 

Dr. Hendrik Barus, sahabat saya yang pernah sekolah di Jerman, berkata jabatan profesor itu, di Jerman amat sakral dan langka. Karena, dia (profesor) itu adalah jabatan, bukan gelar. Karena jabatan maka pasti sedikit. Seperti jabatan seorang presiden di satu negara. Gubernur dan bupati di satu wilayah dan daerah. Tidak mungkin ada dua atau lebih. Itulah mengapa, jabatan profesor atau guru besar itu hanya boleh satu untuk mewakili bidang ilmu. Idealnya begitu.

Sebab itu pula, di Jerman kata Hendrik, banyaknya Assoc Profesor. Mereka baru boleh menjadi profesor bila telah memenuhi syarat. Dan, yang lebih penting,  setelah profesor dalam bidang itu pensiun dan wafat. Atau, dicabut karena pelanggaran hukum tertentu. Saya pernah berkelakar kepada sahabat.  Biarlah menjadi Assoc profesor saja. Selain bermakna sebagai profesor muda. Kita tidak didambakan untuk cepat pensiun atau wafat. Lalu, jadilah kita, Mantan Profesor. Dan, lahirlah profesor baru. Namanya, profesor pengganti antar waktu. Jabatan akademik Setelah Assoc Profesor. Barangkali, seperti jabatan anggota dewan. Wallahu a'lam bish shawab. 


 Lembah Palu, 05/05/2025

0Komentar