IKN - Mandailing Natal – Di era digital yang berkembang pesat hari ini, fenomena post-truth menjadi ancaman bagi demokrasi dan nilai sosial, termasuk di Mandailing Natal, Sumatra Utara. Post-truth adalah keadaan dimana fakta objektif menjadi tidak penting dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Nietzsche yang menyatakan bahwa kebenaran sering kali dibentuk oleh kelompok tertentu.
Di Mandailing Natal, media sosial menjadi tempat berkembangnya propaganda dan hoaks. Situasi ini sengaja diciptakan agar masyarakat bingung dengan keadaan tersebut, padahal informasi yang diterima belum teruji kebenarannya dan jauh dari realitas. Kondisi ini mirip dengan yang disampaikan oleh Plato dalam Mitos Gua, di mana individu lebih percaya pada bayangan yang mereka lihat daripada realitas sejati.
Dalam demokrasi, seharusnya didasarkan pada rasionalitas dan diskusi publik yang sehat, seperti yang dijelaskan oleh Habermas dalam teori tindakan komunikatifnya. Namun, di era post-truth, diskusi publik terlebih di media sosial dipenuhi dengan manipulasi emosional disertai informasi menyesatkan. Hal ini berakibat pada kemunduran demokrasi, karena pemilih lebih dipengaruhi oleh emosi daripada pemahaman rasional terhadap fakta yang sebenarnya. Di Mandailing Natal, ini terlihat jelas dengan polarisasi politik oleh kelompok tertentu.
Keadaan ini mengakibatkan masyarakat kita, yang disuguhi informasi tidak akurat atau diragukan kebenarannya, terhambat dalam dialog sehat. Hannah Arendt mengungkapkan bahwa jika kondisi ini terus menerus terjadi, dapat menciptakan kebohongan yang sistematis, sehingga masyarakat semakin sulit memahami realitas politik sebenarnya.
Dampak buruk bagi demokrasi akan terus berlanjut jika ini tidak ditangani oleh kelompok berkepentingan, salah satunya adalah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Hal ini dapat menyebabkan apatisme politik, di mana masyarakat lebih memilih untuk tidak terlibat dalam proses demokrasi karena merasa sistem tersebut sudah rusak dan tidak merepresentasikan kepentingan mereka. Keadaan ini terlihat dengan rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilu, khususnya pada pemilu lokal.
Untuk menghindari dampak buruk dari post-truth, kita perlu melakukan kerja konkret di berbagai sektor, termasuk pemegang tampuk kekuasaan, akademisi, media, dan masyarakat. Salah satunya adalah penguatan literasi digital dan informasi dengan pendekatan epistemologi terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat.
Peran media lokal juga mesti berperan aktif sebagai tonggak penyajian berita yang objektif dan berbasis fakta, melalui jurnalisme investigatif dalam memerangi hoaks. Diperlukan kolaborasi antara tokoh adat dan agama untuk memahami pentingnya mencari kebenaran sebelum mempercayai informasi. Selain itu, peran pemerintah sangat penting dalam melahirkan regulasi yang lebih ketat terhadap disinformasi, bekerja sama dengan platform digital dan ahli untuk mengontrol penyebaran hoaks serta membatasi akun-akun yang menyebarkan informasi palsu. Tindakan tegas juga diperlukan untuk menindak pelaku penyebar berita bohong oleh penegak hukum.
Akhir kata, "kalau kata beberapa orang, kebohongan yang diucapkan secara berulang-ulang berpotensi dianggap sebagai kebenaran. Maka, ikhtiar kita sebagai insan ulil albab adalah menebas kebohongan yang diucapkan secara berulang-ulang agar tidak dianggap sebagai kebenaran."
Oleh: Rizal Anggara
Sekretaris Jenderal Madina Care Institute
0Komentar