Oleh: A. Achmad Fauzi Rafsanjani
Tokoh Pemuda Wajo
Di salah satu grup di jagat maya, saya menemukan tautan berita tentang pemangkasan anggaran perjalanan dinas pegawai di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Kebijakan ini, imbas dari langkah efisiensi yang dicanangkan pemerintah pusat. Tidak butuh waktu lama, untuk melihat komentar datang dari segala arah.
Respon warganet bermacam-macam. Ada yang melihat ini sebagai langkah cerdas, karena menganggap perjalanan dinas selama ini lebih banyak menghasilkan album foto dan nota hotel ketimbang manfaat nyata. Ada juga yang naik pitam, menjadikan pemangkasan ini sebagai peluru untuk menyerang bupati yang baru dilantik. Katanya, pemangkasan anggaran akan mengebiri hak-hak pegawai dan menurunkan taraf kesejahteraan mereka.
Saya enggan larut dalam pusaran perdebatan semacam ini. Bukan karena tidak peduli, tapi karena saya percaya, hal ini akan lebih bermanfaat kalau dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yang tidak terbatas pada postur anggaran.
Dari kaca mata pelestarian adat dan kearifan lokal, pemangkasan ini bisa jadi momen reflektif. Memberikan kita kesempatan untuk menepi sejenak dan menoleh ke dalam melihat apa yang kita miliki dan mengingat identitas kita yang sebenarnya.
Selama ini, pejabat kita terlalu rajin melancong keluar daerah atas nama studi banding. Mencari inspirasi ke sana-kemari, seolah jawaban atas persoalaan daerah ini selalu datang dari tempat lain. Padahal, Wajo menyimpan segudang nilai, kisah dan kearifan yang belum selesai digali dan dikaji.
Pemangkasan ini mestinya jadi undangan diam-diam untuk melakukan napak tilas ke belakang. Karena sejarah kita penuh dengan pelajaran dan keteladanan. Bahwa Wajo pernah berada di puncak kejayaan. Dikenal demokratis karena sistem pemerintahannya yang terbuka dan partisipatif. Spirit egaliter tumbuh di tengah masyarakat. Tanahnya subur dan kaya akan sumber daya sebagaimana yang disebutkan dalam ungkapan Mangkalungung ri ibulue, massulappé ri pottanangé, mattodang ri tasi’é. (Wajo dianugerahi kekayaan alam yang membentuk karakter masyarakatnya). Dari gunung, mereka hidup berdampingan dengan alam, memanfaatkan hutan dan bercocok tanam di lereng-lerengnya. Di tanah dataran, para petani mengolah lahan subur dengan penuh dedikasi, menjadikan pertanian sebagai tulang punggung ekonomi. Sementara di laut, para nelayan menantang ombak, mencari rezeki dari samudra yang luas.
Di sisi lain, Wajo pernah jatuh. Ketika perri’ (baca: krisis) datang mengguncang. Ketika kekalahan perang melemahkan posisi politik, dan bikin masyarakat kehilangan penghidupan. Saking sulitnya, masyarakat terpaksa mengungsikan dapur, berpindah demi sekadar bertahan hidup. Tapi justru dari titik nadir itu, lahir daya juang. Dalam sempitnya pilihan dan besarnya tekanan, muncul siasat. Dalam derita, tumbuh rasa antar sesama, yang melahirkan ketangguhan dan soliditas untuk bangkit kembali.
Karena itu pemangkasan anggaran perjalanan dinas bukanlah kiamat. Ini pengingat untuk kembali menunduk rendah, menyapa akar-akar kita sendiri. Mungkin saja apa yang kita cari di luar sana, sedang tumbuh di halaman sendiri.
" Selamat Hari Jadi Wajo ke-626 "
0Komentar