Penulis: Jamri, SH., MH
Dosen Hukum Tata Negara UNISI
IKN-Indragiri Hilir – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dengan putusan ini, semua partai politik, tanpa memandang besar atau kecilnya jumlah kursi di DPR, berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara ketatanegaraan, langkah ini membawa penguatan pada prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, dan proses politik harus mencerminkan aspirasi mereka secara langsung dan luas (Asshiddiqie, 2006).
Kedaulatan Rakyat sebagai Fondasi Sistem Politik
Sebelumnya, aturan tentang presidential threshold dinilai menghambat kompetisi politik yang sehat karena hanya partai-partai besar atau koalisi yang memiliki kekuatan dominan di parlemen yang dapat mengajukan pasangan calon presiden. Padahal, dalam sistem demokrasi, setiap partai politik merupakan representasi dari rakyat dan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kontestasi nasional. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang tidak menghalangi partisipasi politik pihak manapun dan memberikan ruang bagi kompetisi politik yang inklusif.
MK dalam putusannya juga merujuk pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menggariskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun, ketentuan ini tidak secara eksplisit menyebutkan adanya ambang batas yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, penghapusan ambang batas ini merupakan langkah yang menempatkan hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung tanpa dibatasi oleh syarat administratif yang diskriminatif.
Implikasi Ketatanegaraan dan Dinamika Politik
Putusan ini memiliki dampak besar pada dinamika politik Indonesia. Dengan dihapuskannya ambang batas, sistem pencalonan presiden menjadi lebih terbuka dan memberikan peluang bagi partai-partai kecil untuk mengajukan calon tanpa harus bergantung pada koalisi besar. Sistem politik yang terlalu terpusat pada kekuatan elit berpotensi mereduksi pluralisme politik dan menghambat representasi yang lebih luas (Budiardjo, 2008).
Secara ketatanegaraan, penghapusan ambang batas juga dapat mempengaruhi pola hubungan antara legislatif dan eksekutif. Sebelumnya, ambang batas sering kali digunakan sebagai alat untuk membangun koalisi besar di parlemen. Namun, hal ini sering menghasilkan kompromi yang justru melemahkan efektivitas pemerintahan. Dengan adanya kompetisi yang lebih terbuka, parlemen diharapkan lebih plural dan mencerminkan suara rakyat secara lebih beragam.
Namun, ada pula tantangan yang harus dihadapi. Penghapusan ambang batas dapat menyebabkan peningkatan jumlah pasangan calon, yang berpotensi memperpanjang proses pemilu hingga dua putaran. Hal ini memerlukan pengaturan yang matang agar tidak menimbulkan ketidakstabilan politik.
Revisi Regulasi sebagai Tindak Lanjut
Sebagai putusan yang bersifat final dan mengikat, penghapusan presidential threshold memerlukan revisi regulasi pemilu. DPR bersama pemerintah harus menyusun aturan teknis baru yang tidak hanya menjamin inklusivitas, tetapi juga memperhatikan aspek keadilan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa keputusan MK tidak hanya menjadi kemenangan simbolis, tetapi juga diterapkan secara efektif dalam praktik politik.
Revisi regulasi juga harus mempertimbangkan upaya untuk menjaga kualitas demokrasi. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang berpihak pada kepentingan rakyat dan mencegah dominasi oleh kekuatan elit tertentu (Maarif, 2012). Oleh karena itu, pembaruan regulasi harus mencakup mekanisme pencalonan yang tidak hanya inklusif, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kedaulatan rakyat.
Terakhir
Putusan MK mengenai 0% presidential threshold adalah langkah penting untuk memperkuat sistem ketatanegaraan dan demokrasi Indonesia. Dengan memberikan kesempatan yang setara kepada semua partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden, keputusan ini membuka ruang bagi demokrasi yang lebih substantif dan inklusif. Namun, keberhasilan implementasinya bergantung pada revisi regulasi yang komprehensif dan dukungan semua pihak dalam memastikan stabilitas politik. Keputusan ini adalah peluang bagi Indonesia untuk memperkuat legitimasi politik dan membangun sistem pemerintahan yang lebih demokratis, dan berkeadilan. (RMH)
0Komentar