OPINI
Oleh: Akbar Himawan Buchari
Mahasiswa Prodi S3 Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
IKN-Medan – Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah melahirkan bentuk transaksi ekonomi baru yang dikenal sebagai electronic commerce (e-commerce). Fenomena ini mengubah paradigma perdagangan global sekaligus menghadirkan tantangan baru bagi sistem hukum yang selama ini dibangun atas dasar transaksi konvensional.
Akbar Himawan Buchari, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), menilai bahwa kehadiran e-commerce menuntut pembaruan hukum yang tidak hanya berorientasi pada kepastian, tetapi juga keadilan, efisiensi, dan perlindungan terhadap konsumen.
“Hukum dalam e-commerce tidak bisa lagi hanya dilihat dari perspektif normatif semata. Ia harus adaptif, multidisipliner dan responsif terhadap dinamika teknologi serta perilaku digital masyarakat”, ujar Akbar dalam kajian akademiknya di Medan, Sabtu (25/10/25).
Transformasi Digital dan Kompleksitas Hukum Baru
E-commerce membuka peluang besar bagi kemajuan ekonomi digital karena memungkinkan transaksi jual beli tanpa batas waktu dan ruang. Namun, di sisi lain, fenomena ini menimbulkan berbagai permasalahan hukum baru, mulai dari keabsahan kontrak elektronik, perlindungan data pribadi, keamanan siber, hingga yurisdiksi lintas negara.
Akbar menjelaskan, untuk menjawab kompleksitas tersebut, diperlukan pendekatan komprehensif yang bersandar pada beberapa teori ilmu hukum, antara lain positivisme hukum, hukum alam, hukum sosial, hukum ekonomi, perlindungan konsumen, serta cyber law.
Fondasi Teoretis Hukum E-Commerce
Menurut Akbar, teori positivisme hukum menjadi dasar penting bagi kepastian hukum dalam transaksi elektronik. Penerapannya terlihat pada keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengakui tanda tangan digital dan kontrak elektronik sebagai alat bukti sah.
Sementara itu, teori hukum alam menekankan pentingnya moralitas dan keadilan dalam transaksi daring, agar kemajuan teknologi tidak mengorbankan hak-hak dasar konsumen. Teori hukum sosial, sebagaimana dikemukakan Roscoe Pound, mengharuskan hukum berfungsi sebagai alat rekayasa sosial yang terus menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku masyarakat digital.
Dari perspektif hukum ekonomi, regulasi e-commerce idealnya mampu menciptakan efisiensi transaksi dan menekan biaya ekonomi, sehingga dapat mendukung pertumbuhan bisnis digital yang sehat. Sedangkan teori perlindungan konsumen menegaskan pentingnya regulasi yang melindungi konsumen dari praktik curang, informasi menyesatkan, serta penyalahgunaan data pribadi.
Lebih jauh, teori cyber law hadir sebagai payung hukum modern yang mengatur aktivitas di ruang siber, mencakup privasi data, keamanan transaksi, dan yurisdiksi lintas batas negara. Akbar menilai, cyber law harus dikembangkan berdasarkan prinsip lex informatica — norma yang muncul dari praktik teknologi itu sendiri — agar hukum tetap relevan dan adaptif terhadap inovasi digital.
Membangun Hukum Digital yang Humanis dan Responsif
Dalam pandangan Akbar, pembentukan hukum e-commerce harus berangkat dari pemahaman integratif antara berbagai teori hukum. Pendekatan tunggal dianggap tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan ruang digital yang kompleks. “Kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith) menjadi fondasi utama keberlanjutan e-commerce. Hukum berperan menjaga keseimbangan antara kepentingan bisnis dan perlindungan masyarakat", jelasnya.
Akbar menambahkan bahwa sistem hukum yang efektif di era digital adalah hukum yang progresif tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga mendorong keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi.
Relevansi Akademik dan Implikasi Kebijakan
Kajian ini menegaskan perlunya sinergi antara teori hukum dan kebijakan publik dalam membangun sistem regulasi digital di Indonesia. Pembuat kebijakan diharapkan tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga pada pembentukan norma baru yang menyesuaikan realitas digital. “Tantangan utama bukan sekadar bagaimana menegakkan hukum di ruang siber, tetapi bagaimana membangun hukum yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat digital,” tegas Akbar.
Ia juga menekankan pentingnya pembaruan berkelanjutan terhadap perangkat hukum, termasuk perlindungan data pribadi, mekanisme penyelesaian sengketa daring, serta tata kelola transaksi lintas negara yang transparan.
Melalui kajian ini, Akbar Himawan Buchari menegaskan bahwa teori ilmu hukum memiliki peran fundamental dalam merespons perkembangan e-commerce. Kombinasi antara kepastian hukum, nilai moralitas, efisiensi ekonomi, dan perlindungan konsumen menjadi kunci terciptanya ekosistem perdagangan digital yang adil, aman dan berkelanjutan.
Dengan demikian, perkembangan hukum di era digital bukan hanya tentang menyesuaikan aturan terhadap teknologi, tetapi juga tentang meneguhkan kembali nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan di tengah perubahan zaman.
Sumber:
Kajian Akademik “Teori Ilmu Hukum dalam Perkembangan E-Commerce”
Oleh Akbar Himawan Buchari, Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), 2025.
Referensi:
Lathifah Hanim (2011), Parningotan Malau et al. (2025), Muhamad Danuri (2019), Setiadi Setiadi (2025), Randy Lapian (2024), Tehedi & Dinda Ayu Izmi (2025), Sahat M. T. Situmeang (2020), Rupertus Arvinci Ngabut (2024).
(MMP)

0Komentar