GpGiTSWiBSCpBSA6BSriTfdoGd==
Light Dark
Saat Sensitivitas Mati

Saat Sensitivitas Mati

×

Opini

Oleh: Salihudin M. Awal
Pengurus Majelis Wilayah
Korps Alumni HMI Provinsi Sulawesi Tengah


Ada krisis besar  yg melanda bangsa kita hari ini. Krisis ini begitu halus sehingga tidak kelihatan.  Hanya dampaknya yang sangat besar. Inilah krisis berupa hilangnya sensitivitas. Hilangnya sensitivitas itu saat kita masih bisa melihat, mendengar dan berbicara, tapi tidak lagi mampu merasakan luka orang lain. Kita hidup dalam satu bangsa tapi seolah tidak lagi peduli pada nasib sesama.

Demo besar akhir Agustus lalu menjadi bukti telak. Sepuluh orang meregang nyawa, ratusan lainnya terluka, seterusnya ratusan keluarga harus menanggung duka yang tak bisa dihapus. Semua itu bukan sekadar angka, tapi jerit nyata dari mereka yg lama terabaikan. Tragedi itu lahir dari amarah yang dipendam terlalu lama, dari ketidakadilan yang terus dibiarkan, dan dari kesenjangan yang semakin menganga.

Kita kehilangan kepekaan. Lihatlah kontras yang menyayat hati di negeri ini. Di layar televisi dan media sosial, kita sering disuguhi gambar pesta ulang tahun megah dengan lampu kristal, kue berlapis  bertingkat, dan tamu yg datang dengan busana berkelas dunia. Namun hanya beberapa kilometer dari lokasi pesta itu, ada warga yang antre bantuan beras murah, ada ibu-ibu yang berdebat di pasar hanya untuk selisih seribu rupiah, ada anak-anak yang tidur di lantai tanah tanpa alas.

Ukuran kuantitatifnya seperti dilaporkan BPS.  Persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 adalah 8,47%, turun sekitar 0,10 persen poin dibanding September 2024, dan turun 0,56 persen poin dibanding Maret 2024. Artinya, masih ada sekitar 23,85 juta orang miskin di seluruh Indonesia. Walau terjadi penurunan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa turunnya angka kemiskinan tidak selalu terasa oleh semua orang, terutama mereka yang tinggal di area perkotaan, karena di kota justru ada sedikit peningkatan jumlah penduduk miskin dari 6,66% menjadi 6,73%. 

Angka di atas sekedar bukti fisik. Yang lebih subtansial, kita perlu merenung dan  jawab pertanyaan retoris ini dalam hati.  Apakah hati kita benar-benar sudah mati? Bagaimana mungkin kita bisa tertawa ketika orang lain menangis? Bagaimana kita bisa berpesta di atas perut-perut kosong yang meringis?Kesenjangan ini bukan sekadar masalah statistik dalam laporan ekonomi. Ini adalah luka nyata yang terus mengalirkan darah. Dan luka yang dibiarkan akan bernanah, lalu pecah menjadi letupan amarah di jalanan.

Contoh lain, kita bangga memamerkan deretan mobil mewah dalam konvoi perkawinan. Jalan ditutup, masyarakat kecil dipaksa minggir, sementara mereka yang melintas dalam kemewahan seolah hidup di dunia yang berbeda. Padahal di gang-gang sempit di kota yang sama, ada keluarga yang harus menjual sepeda motornya demi biaya sekolah anak. Ada pula buruh harian yang harus memilih, membeli beras atau membeli obat untuk anaknya yang sakit.

Demo yang berakhir dengan korban jiwa adalah peringatan keras bahwa bangsa ini sedang kehilangan aliran rasa. Kita sudah terbiasa melihat kemewahan tanpa terganggu, terbiasa menyaksikan penderitaan tanpa tergugah. Kita hidup berdampingan tapi tidak lagi saling menyapa hati. Krisis sensitivitas ini jauh lebih berbahaya dibanding krisis ekonomi. Ekonomi bisa dipulihkan dgn kebijakan, tapi nurani yang mati sulit dihidupkan kembali. 

Kita bisa membangun jalan, jembatan dan gedung pencakar langit, tapi semua itu tidak ada artinya kalau jiwa bangsa retak dan kehilangan rasa kemanusiaan. Bangsa yang kehilangan sensitivitas adalah bangsa yg kehilangan pijakan. Mungkin tampak kuat, tapi rapuh di dalam. Bisa terlihat kaya, tapi miskin hati. Bisa bersuara lantang, tapi kosong makna. Mahatma Gandhi pernah mengingatkan “the greatness of humanity is not in being human, but in being humane”. 

Keagungan kita sebagai bangsa tidak ditentukan oleh kemewahan yang kita pamerkan, tapi oleh kepekaan kita pada penderitaan sesama. Demikian pula Amartya Sen dalam Development as Freedom mengatakan bahwa kemiskinan bukan hanya soal kekurangan penghasilan, tapi “the deprivation of basic capabilities” atau ketidakmampuan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat.

Karena itu, kita harus segera mengembalikan sensitivitas. Kita harus belajar merasakan lagi. Merasakan perihnya perut yang kosong, meski hanya dengan membatasi pesta kita. Merasakan getirnya hidup di jalanan, meski hanya dengan menahan diri untuk tidak pamer. Merasakan sakitnya ketidakadilan, meski hanya dengan mendengar jeritan orang kecil. Kita tidak butuh teori rumit untuk menjadi manusia yang peka. Kita hanya butuh keberanian untuk menundukkan ego, menahan diri, dan membuka hati. Sensitivitas itu lahir bukan dari harta atau jabatan, tapi dari hati yang rela merasakan.

Mari kita mulai dari hal sederhana. Kurangi pamer kemewahan di tengah penderitaan. Kurangi pesta di tengah duka. Kurangi kata-kata kosong tentang kepedulian, perbanyak tindakan nyata. Sapa tetangga yang kesulitan, bantu yang kelaparan, dengarkan suara rakyat yang terabaikan. Bangsa ini tidak akan runtuh oleh kekuatan asing, tapi ia bisa hancur oleh kebutaan nurani. Karena itu, mari kita jaga sensitivitas ini. Mari kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk mereka yang lapar, mereka yang terluka, dan mereka yang masih menunggu uluran tangan.

Sensitivitas bukan kelemahan. Ini adalah kekuatan sejati. Ini yang membuat bangsa ini tetap hidup, tetap berpengharapan, dan tetap layak disebut manusia.

0Komentar