Opini
Oleh: Salihudin M. Awal
Ketua Umum HMI Cabang Palu 2001-2002
Di sebuah podium megah nan santai di Hotel Bidakara, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin melontarkan sebuah “guyonan” yang langsung menohok urat nadi sejarah gerakan mahasiswa Indonesia: “Kalau ada yang tidak tumbuh dari bawah, pasti bukan PMII. Itu HMI.” Pernyataan ini, meski dikemas dalam bahasa santai, menyulut perdebatan terutama di komunitas kecil alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ada yg membalas dengan nada sinis, sebagian memilih diam, sebagian lainnya merenung: benarkah HMI tidak tumbuh dari bawah?
Mari kita buka lembar sejarah dgn kaca mata yg tidak berkabut. Bukan sekadar melihat struktur atau posisi organisasi, melainkan dari cara organisasi itu membentuk cara berpikir, membangun jejaring, dan mendidik kader-kadernya. Karena “tumbuh dari bawah” bukan semata soal asal-usul sosial atau bentuk gerakan massa, tetapi soal keberpihakan, keberanian bersuara, dan konsistensi memperjuangkan nilai dari ruang-ruang yang paling akar.
Apa Arti “Tumbuh dari Bawah?"
Dalam salah satu tafsirannya bisa dimaknai sebagai berasal dari rakyat, dekat dengan akar rumput, dan bekerja dari pinggiran ke pusat. Tetapi jika kita lebih jujur dan kritis, bukan soal dari mana kader itu berasal, tetapi bagaimana nilai-nilai perjuangan dibangun dalam organisasi.
Dalam hal ini, HMI punya catatan panjang—dan tidak semua orang sanggup membaca halaman demi halamannya.
Sejak berdirinya tahun 1947, HMI bukanlah proyek politik elite. Justru ia lahir dari semangat mahasiswa untuk menjembatani antara keislaman dan keindonesiaan. Lafran Pane, pendirinya, bukan anak bangsawan atau anak menteri. Ia anak muda yang gelisah melihat perdebatan antara sekularisme dan Islamisme yg membelah republik yang baru lahir. Dan kegelisahan itu ia jadikan bahan bakar untuk membangun organisasi. Tidakkah itu juga bentuk tumbuh dari bawah—dari kegelisahan akar, dari ruang-ruang sunyi kampus, dari keresahan anak bangsa?
Guyonan yang Melupakan Jejak
Pernyataan Cak Imin, meski dibungkus guyon, justru menafikan kenyataan: banyak sekali tokoh HMI yang berasal dari desa, dari pelosok, bahkan dari keluarga yg sangat sederhana. Bacalah kembali riwayat hidup tokoh2nya. Mereka tumbuh dari mimbar-mimbar kecil, dari diskusi panjang di emperan kampus, dari asrama-asrama yang listriknya sering padam. Apakah itu bukan “tumbuh dari bawah”?
Bahkan dari sisi kontribusi ke masyarakat, banyak alumni HMI yang turun langsung ke basis rakyat—menjadi guru di pelosok, aktivis anti-kemiskinan, hingga relawan pendidikan. Tentu tidak semua kader sempurna, banyak juga yg korupsi dan tuna akhlak lainnya sehingga tidak perlu dibanggakan secara berlebihan.
Tapi menyederhanakan HMI seolah hanya tumbuh dari atas, adalah penyingkatan sejarah yang tak adil.
PMII dan HMI: Dua Arah, Satu Jalan
PMII dan HMI memang lahir dari semangat yg berbeda. PMII tumbuh dari tradisi Nahdlatul Ulama yang kental dengan basis kultural pesantren. Sementara HMI, sebagai organisasi kader, punya orientasi intelektual dan gerakan transformatif. Tapi keduanya—kalau kita jujur—sama-sama punya tantangan dalam menjaga hubungan dengan “bawah.” Karena faktanya, saat ini semakin banyak organisasi mahasiswa justru terjebak dalam birokratisasi internal, perebutan posisi struktural, dan makin jauh dari basis rakyat yang katanya mereka perjuangkan.
Jadi alih-alih saling sindir, mungkin lebih bermanfaat jika dua organisasi ini ngopi bareng bertanya jujur pada diri sendiri: “Masihkah kita menyatu dengan suara rakyat? Ataukah kita hanya rebutan akses kekuasaan di panggung politik?”
HMI adalah organisasi yang ditempa oleh debat. Di forum LK (Latihan Kader), di diskusi komisariat, di tataran cabang hingga Badko dan PB debat adalah napas sehari-hari. Bahkan dalam perdebatan itulah nilai-nilai dibentuk—bukan dari amplop, bukan dari seragam, bukan dari status sosial. Itulah mengapa banyak sekali kader HMI yang kritis bahkan kepada internalnya sendiri.
Dan ini mungkin yang membuat orang luar keliru menilai: HMI terlihat keras dari dalam, tapi karena itulah ia tetap bertahan.
Cak Imin sendiri adalah produk dari masa lalu gerakan mahasiswa. Ia tahu betapa kerasnya proses kaderisasi, betapa getirnya perjuangan membangun jaringan dari bawah, betapa sulitnya bertahan di dunia politik tanpa melacurkan idealisme.
Maka guyonannya mungkin hanya ingin mencairkan suasana. Tapi tetap saja, guyon bisa menorehkan luka kalau menyentuh sesuatu yang substansial.
Akhirul Kalam
Barangkali benar bahwa hari ini banyak organisasi mahasiswa tak lagi “tumbuh dari bawah” karena terlalu sibuk “mengejar ke atas.” Tapi kalau kita tarik garis panjang sejarah, HMI justru dibangun dari keresahan yang sangat akar. Ia tumbuh dari ruang-ruang sunyi kampus, dari tadarus pemikiran, dari mimbar mushola fakultas, dan dari semangat merdeka berpikir. Jika itu bukan “tumbuh dari bawah,” lalu dari mana lagi?
Dan kita tentu tak sedang berdebat soal siapa lebih baik. Kita hanya ingin menjaga agar sejarah tidak dipotong pendek, agar guyon tidak menjadi generalisasi. Karena tumbuh dari bawah bukan soal bendera. Tapi soal siapa yang masih punya nyali mendengarkan suara paling lemah.
0Komentar