GpGiTSWiBSCpBSA6BSriTfdoGd==
Light Dark
Kurikulum Cinta Dalam Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam di Indonesia: Konsep, Nilai, Pendekatan, Implementasi dan Dampaknya

Kurikulum Cinta Dalam Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam di Indonesia: Konsep, Nilai, Pendekatan, Implementasi dan Dampaknya

×

Oleh: Prof. Dr. Ani Cahyadi, S.Ag, M.Pd**

Latar Belakang

Transformasi pendidikan di Indonesia memasuki babak baru dengan hadirnya konsep “Kurikulum Cinta” atau Kurikulum Berbasis Cinta yang dicanangkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sejak tahun 2025. Inisiatif ini bukan sekadar respons atas tantangan degradasi moral dan intoleransi yang merebak di kalangan generasi muda, tetapi juga strategi pembaruan sistem pendidikan Islam yang menekankan penguatan karakter berbasis kasih sayang, empati, dan harmoni.

Pendidikan karakter, sebagai salah satu fondasi sistem pendidikan nasional, kerap dikritik kurang menyentuh dimensi afektif dan spiritual. Paradigma lama yang kering dari nilai humanis, terlalu fokus pada capaian kognitif, dinilai telah gagal mengantisipasi munculnya perilaku intoleransi, kekerasan simbolik, hingga krisis identitas peserta didik. Dalam konteks pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKI), kebutuhan terhadap inovasi kurikulum semakin mendesak di tengah heterogenitas mahasiswa dan perkembangan global yang penuh disrupsi.

Kurikulum Cinta, sebagaimana disosialisasikan oleh Kemenag dan para pemimpin PTKI, hadir bukan sebagai mata pelajaran baru, tetapi diintegrasikan dalam berbagai mata kuliah dan aktivitas kampus. Tujuannya menciptakan ekosistem kampus yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga ramah, toleran, humanis, dan peduli lingkungan—selaras dengan misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Upaya pembumian nilai-nilai cinta dalam pendidikan tinggi ini didukung oleh kebijakan nasional strategis, payung regulasi baru, serta pengembangan pedagogi yang lebih reflektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa. Seluruh langkah ini diarahkan untuk memperkuat pembentukan karakter mahasiswa yang transformatif, responsif, sekaligus relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia yang terus berubah.

Definisi dan Konsep Kurikulum Cinta

Kurikulum Cinta merupakan pendekatan pendidikan yang menitikberatkan integrasi nilai kasih sayang, empati, toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan cinta kepada Tuhan, sesama, alam, serta bangsa ke dalam seluruh aspek pembelajaran. Dirancang berbasis filosofi rahmatan lil ‘alamin, kurikulum ini memandang cinta bukan sekadar norma atau retorika, tetapi sebagai energi etis-spiritual yang menjadi ruh pendidikan Islam modern.

Menurut berbagai rujukan, Kurikulum Cinta berfungsi sebagai kerangka penguatan karakter kelompok mahasiswa melalui rekayasa pengalaman belajar yang melibatkan dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik sekaligus. Spirit utamanya adalah membumikan ajaran Islam yang moderat, menghindari rigiditas ritual semata, dan menginternalisasikan nilai kemanusiaan universal—agar pendidikan tidak lagi sekadar proses transfer ilmu, melainkan juga proses memanusiakan manusia.

Konsep ini selaras dengan teori pendidikan humanistik (Abraham Maslow, Paulo Freire) serta model pedagogi kritis dan reflektif yang mentransformasi ruang kelas menjadi laboratorium harmoni, dialog, dan aktualisasi karakter. Komitmennya: menanam nilai “panca cinta” ke dalam seluruh aspek kampus—baik dalam interaksi akademik, organisasi kemahasiswaan, kebijakan kelembagaan, maupun kegiatan layanan masyarakat.

Landasan Kebijakan dan Regulasi

Kurikulum Cinta diangkat ke tingkat kebijakan nasional dan dituangkan dalam dokumen-dokumen penting seperti Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 6077 Tahun 2025 tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Implementasinya diperkuat dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2025 yang mensosialisasikan pelaksanaan KBC di seluruh PTKI, madrasah, serta instansi pendidikan Islam lainnya.

Dasar normatif dan regulatif Kurikulum Cinta meliputi:

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan pentingnya pembentukan manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Peraturan Menteri Agama No. 33 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama.

Payung regulasi Asta Protas Kemenag 2025–2029 yang mendukung pendidikan Islam unggul, ramah anak, dan terintegrasi.

Selain itu, Kemenag menerbitkan Panduan Kurikulum Berbasis Cinta yang dapat diunduh secara publik dan menjadi rujukan utama desain dan implementasi pada seluruh satuan pendidikan Islam, tidak hanya madrasah, tapi juga universitas dan institusi pendidikan tinggi.

Nilai-Nilai Utama Kurikulum Cinta

Nilai sentral yang diusung Kurikulum Cinta di PTKI menekankan pendekatan holistik yang merangkul seluruh dimensi perkembangan mahasiswa—agama, kemanusiaan, lingkungan, dan kebangsaan. Dalam banyak forum strategis, Kemenag dan para rektor PTKI menyebut setidaknya lima pilar dan prinsip utama dalam pengembangan kurikulum ini dengan penjelasan singkat:

  1. Cinta kepada Tuhan (Hablum Minallah), Penguatan hubungan spiritual dan ketakwaan, dasar semua bentuk cinta lainnya.
  2. Cinta kepada Sesama Manusia (Hablum Minannas). Praktik empati, toleransi, keadilan, dan penghargaan antar sesama, tanpa diskriminasi
  3. Cinta kepada Hewan dan Tumbuhan. Penanaman tanggung jawab ekologis dan kasih sayang terhadap seluruh ciptaan Allah.
  4. Cinta kepada Alam Semesta (Hablum Bi’ah). Kepedulian pada keberlanjutan ekosistem, mencegah kerusakan lingkungan.
  5. Cinta kepada Bangsa (Hubbul Wathan). Penumbuhan nasionalisme, kebanggaan terhadap tanah air, partisipasi membangun bangsa

Kelima pilar di atas kemudian diperas menjadi panca cinta atau core ethical values, yang di PTKI sering diinternalisasikan juga dalam format: cinta Allah dan Rasul, cinta ilmu, cinta sesama, cinta lingkungan, dan cinta tanah air. Prinsip-prinsip ini didesain agar tidak berhenti pada retorika, tetapi benar-benar diintegrasikan melalui seluruh matakuliah, kurikulum kokurikuler, serta kegiatan kampus dan masyarakat.

Empati, inklusivitas, keadilan, kerendahan hati, kerja sama, dan integritas menjadi turunan logis yang memperkuat kerangka nilai Kurikulum Cinta. Nilai-nilai ini tidak hanya diinternalisasi dalam proses belajar-mengajar, tetapi juga dalam budaya kampus, kebijakan kelembagaan, dan hubungan antarsivitas akademika.

Pendekatan Pedagogis dalam Kurikulum Cinta

Kurikulum Cinta menuntut pergeseran paradigma pedagogis:

Dari teacher-centered ke student-centered learning;

Dari evaluasi kognitif menjadi evaluasi perkembangan karakter dan sikap.

Adapun pendekatan dan strategi yang diadopsi oleh PTKI dalam implementasi Kurikulum Cinta meliputi:

  1. Pembelajaran Reflektif dan Partisipatif Aktivitas pembelajaran didorong agar: Memberikan ruang refleksi diri mahasiswa. Mendorong aktivisme, dialog, serta pengalaman belajar berbasis proyek nyata. Mengembangkan pembiasaan baik, baik di kelas maupun kampus, hingga praktik pengabdian masyarakat.
  2. Keteladanan Dosen dan Lingkungan Belajar. Dosen dan tenaga pendidik berperan sebagai teladan utama nilai cinta—menghadirkan budaya ramah, menyusupkan nilai empati dan sikap welas asih ke dalam interaksi belajar, bukan sekadar penyampai pengetahuan. Praktik ini memperkuat dimensi afektif dan spiritual yang sering kali terabaikan dalam pendidikan tinggi konvensional.
  3. Integrasi Nilai dalam Mata Kuliah dan Kegiatan Lain. Nilai-nilai cinta diintegrasikan dalam setiap mata kuliah (Akidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Fikih, Bahasa Indonesia, bahkan mata kuliah umum), baik melalui pendekatan kasus, diskusi reflektif, maupun penugasan proyek sosial dan lingkungan. Kegiatan ekstrakurikuler, pengabdian masyarakat, dan penguatan komunitas civitas dijadikan ruang ekspresi dan internalisasi nilai.
  4. Model ARKA dalam Pelatihan Fasilitator. Siklus pembelajaran menggunakan model ARKA—Aktivitas (partisipasi aktif), Refleksi (perenungan makna), Konseptualisasi (rumusan nilai dan pelajaran), dan Aplikasi (penerapan konsep cinta ke keseharian). Model ini terbukti memperkuat transfer nilai dan memastikan tidak ada deviasi antara teori dan praktik.
  5. Penilaian Holistik, Evaluasi keberhasilan mahasiswa tidak hanya pada aspek akademik, tetapi juga pertumbuhan karakter dan perubahan perilaku—melalui observasi, penilaian teman sejawat, refleksi diri, portofolio karya sosial, serta penugasan berbasis proyek.
  6. Pengembangan Konten Digital. Digitalisasi bahan ajar, audio-visual, konten kreatif (video, podcast, infografis), serta platform diskusi daring menjadi bagian dari strategi pedagogis Kurikulum Cinta untuk menjangkau generasi digital native dan memperkuat personalisasi pembelajaran.

Integrasi Kurikulum Cinta di PTKI

Kurikulum Cinta tidak menggantikan kurikulum nasional yang berlaku, melainkan diintegrasikan ke dalam setiap aspek pembelajaran dan pengembangan kurikulum di PTKI secara transdisipliner. Kemenag memberikan pedoman dan modul implementasi yang harus diadaptasi oleh masing-masing perguruan tinggi, sesuai dengan kultur, kemampuan SDM, dan kebutuhan lokal.

Prinsip integrasi yang dijalankan meliputi:

Pengembangan kurikulum operasional di tingkat program studi/mata kuliah yang mengadopsi kerangka panca cinta.

Penyusunan RPP (Rencana Pembelajaran Pembelajaran) tematik yang memasukkan aspek empati, harmoni sosial, dan cinta lingkungan dalam tujuan pembelajaran.

Dorongan untuk melakukan penelitian partisipatif, pengabdian masyarakat, dan pembelajaran berbasis proyek sosial dengan tema harmoni, toleransi, dan pembangunan berkelanjutan.

Peningkatan kapasitas dosen dan tenaga kependidikan melalui pelatihan, ToF, workshop, serta program penguatan pengajaran humanistik.

Monitoring kolaboratif oleh Kemenag, rektorat PTKI, dan komunitas akademik untuk memastikan kesinambungan kebijakan dan kultur implementasi.

Pengembangan Modul dan Bahan Ajar

Kementerian Agama telah merilis panduan kurikulum berbasis cinta versi digital yang dapat diakses oleh seluruh pendidik dan pihak terkait secara nasional. Modul-modul ini berisi:

Prinsip pengembangan pembelajaran yang mengedepankan kebersamaan, kemandirian, empati, kejujuran, keikhlasan, hingga kebermanfaatan dan toleransi.

Contoh RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) tematik untuk pelajaran Bahasa Arab, Akidah Akhlak, Bahasa Indonesia, dan IPAS yang mengaitkan materi ke dalam nilai cinta kepada Allah, sesama, dan lingkungan.

Indikator capaian Kurikulum Cinta, misalnya pengembangan empati, inisiatif, keterlibatan dalam kerja sosial dan lingkungan, serta pencapaian aspek afektif di samping aspek intelektual.

Beragam konten ajar digital—dari video, podcast, hingga e-book—sebagai media stimulasi dan refleksi nilai cinta, anti-bullying, solidaritas, dan kebhinekaan.

Instrumen pembelajaran berbasis “living values education” yang pernah sukses membantu peningkatan moderasi beragama di Pekanbaru dan berbagai madrasah percontohan.

Model Evaluasi dan Instrumen Penilaian

Evaluasi Kurikulum Cinta di PTKI menuntut pendekatan penilaian karakter yang lebih komprehensif, meliputi penilaian proses dan capaian akhir. Model evaluasi yang banyak diadopsi antara lain:

Observasi sikap dan interaksi: Guru atau dosen melakukan observasi perilaku dan interaksi mahasiswa, mengisi lembar pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung.

Wawancara dan refleksi: Wawancara mendalam dengan mahasiswa untuk mengidentifikasi perubahan sikap dan pemahaman nilai cinta dalam kehidupan nyata.

Portofolio dan karya mahasiswa: Evaluasi dari hasil karya nyata, seperti proyek sosial, poster digital, atau inisiatif lingkungan hidup.

Angket dan survei sikap: Penyebaran angket tentang pemahaman dan penerapan nilai cinta, pengelolaan emosi, dan empati antarmahasiswa.

Penilaian teman sejawat (peer assessment): Rekan mahasiswa menilai sikap, kontribusi, dan empati antarteman sebagai bagian dari pembentukan karakter kolektif.

Instrumen khusus juga dikembangkan untuk mengukur multidimensional outcome: tidak hanya kecerdasan akademik, tetapi juga kesehatan mental, kepedulian sosial, daya tahan menghadapi konflik, dan partisipasi aktif dalam kegiatan kampus.

Dampak pada Pembentukan Karakter Mahasiswa

Implementasi Kurikulum Cinta di PTKI menunjukkan sejumlah dampak positif yang signifikan:

Peningkatan Kecerdasan Emosional dan Spiritual: Mahasiswa mampu mengelola emosi, resiliensi terhadap tekanan, dan mengedepankan spiritualitas dalam menghadapi tantangan hidup modern.

Terciptanya Lingkungan Inklusif dan Harmonis: Budaya kampus lebih ramah, terbuka pada perbedaan, mengurangi stigma diskriminatif, dan menurunkan praktik intoleransi atau bullying.

Perilaku Sosial Asertif dan Empati: Mahasiswa lebih aktif menolong sesama, terlibat dalam aksi sosial, dan menjaga solidaritas kolektif.

Penguatan Kesadaran Ekologis: Melalui integrasi tema cinta lingkungan (hablum bi’ah), mahasiswa terdorong melakukan aksi nyata menjaga dan melestarikan alam.

Konsistensi Nilai Nasionalisme: Melalui cinta tanah air (hubbul wathan), mahasiswa didorong menjadi warga negara yang aktif, nasionalis, dan menjaga identitas bangsa dalam dunia global.

Motivasi Belajar Lebih Tinggi: Penelitian empiris menunjukkan, mahasiswa yang merasa dihargai dan berada dalam lingkungan penuh kasih sayang memiliki motivasi belajar dan prestasi akademik lebih baik.

Secara umum, Kurikulum Cinta menumbuhkan generasi insan berkarakter, adaptif terhadap perubahan, sekaligus memiliki kepedulian sosial dan komitmen kebangsaan yang tinggi.

Tantangan dan Kendala Implementasi

Meskipun memiliki visi besar dan didukung penuh oleh Kemenag, Kurikulum Cinta tidak lepas dari tantangan dan kendala di lapangan:

Mindset Konvensional dan Resistensi Adaptasi: Sebagian dosen dan tenaga pendidik kurang memahami esensi atau substansi pedagogi berbasis cinta, sehingga pengajaran masih cenderung formalistis dan kognitif.

Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Sarana: Di sejumlah PTKI, khususnya di luar Jawa dan madrasah swasta, pelaksanaan Kurikulum Cinta terganjal minimnya pelatihan, sarana penunjang, dan media pembelajaran kreatif.

Beban Administrasi dan Kurikulum yang Padat: Dosen tertekan banyaknya pelaporan administratif dan tanggung jawab beban kerja, sehingga kurang waktu mempersonalisasi pembelajaran afektif.

Minimnya Instrumen Evaluasi Khusus: Kurangnya alat ukur valid untuk penilaian perubahan sikap, perilaku, dan kesehatan mental mahasiswa.

Kurangnya Sinergi antara PTKI, Orang Tua, dan Masyarakat: Praktik pendidikan karakter tidak berjalan efektif jika ekosistem di luar kampus tidak mendukung nilai yang sama.

Politisasi Nilai Agama: Risiko pemanfaatan nilai cinta untuk agenda politik lokal, bias religiusitas, dan belum meratanya inklusivitas untuk non-Muslim.

Best Practices dan Rekomendasi Implementasi

Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas, sejumlah strategi terbaik terbukti efektif:

Pelatihan Fasilitator Berbasis ARKA: Training of Facilitator (ToF) berbasis Aktivitas, Refleksi, Konseptualisasi, dan Aplikasi menjadi model pelatihan utama bagi dosen, guru, serta pengawas pendidikan.

Pengembangan Modul Digital dan Media Interaktif: Pemanfaatan platform digital, video, podcast, dan aplikasi mobile untuk pembelajaran makna cinta di era generasi Z dan Alpha.

Komitmen Kolaborasi Lintas Sektor: Sinergi kementerian, PTKI, madrasah, serta masyarakat dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi kurikulum.

Integrasi dengan Kebijakan Merdeka Belajar dan Profil Pelajar Pancasila: Menjadikan peta jalan kebijakan nasional sebagai acuan inovasi sekaligus peluang fleksibilitas penerapan di masing-masing satuan pendidikan.

Optimalisasi Peran Pendidik sebagai Teladan dan Fasilitator: Guru/dosen harus menjadi role model yang sejati, hadir secara emosional bagi peserta didik, bukan sekadar sumber pengetahuan.

Produksi dan Penyebaran Konten Edukatif yang Kontekstual: Menyesuaikan materi ajar dengan kearifan lokal, praktik hidup, dan kebutuhan aktual mahasiswa.

Contoh Implementasi Nyata Kurikulum Cinta di PTKI

1. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UIN Jakarta merupakan salah satu pionir dalam mengembangkan forum-forum akademik dengan tema Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta untuk Dunia yang Damai. Di bawah kepemimpinan Rektor Prof. Asep Saepudin Jahar, UIN Jakarta secara aktif mengintegrasikan prinsip humanis dan rahmatan lil alamin dalam seluruh aktivitas kampus—mulai dari perkuliahan, layanan kemahasiswaan, hingga program pengabdian masyarakat.

UIN juga mendorong pembelajaran kolaboratif, penanaman empati, pengakuan atas keberagaman kelas, serta penilaian karakter berbasis refleksi dan aksi nyata. Dalam berbagai seminar nasional, UIN menekankan pentingnya deep learning serta digital skills with ethics, menyesuaikan pembelajaran dengan kompleksitas kehidupan global tanpa meninggalkan akar spiritual Islam.

2. UIN Sunan Gunung Djati Bandung

UIN Bandung aktif berperan dalam FGD nasional dan pengembangan strategi implementasi Kurikulum Cinta yang menekankan pembelajaran humanis, inklusif, dan bermakna. Kegiatan ini dipimpin oleh para pakar pendidikan, psikologi, hingga peneliti dari BRIN dan menghasilkan sejumlah rekomendasi, seperti:

Rekonstruksi sistem pendidikan agar melahirkan mahasiswa toleran, nasionalis, dan transformatif.

Pemetaan materi ajar berbasis karakter dan nilai empati, kasih sayang, toleransi, keadilan, kolaborasi, serta kemampuan refleksi diri.

Pengembangan strategi evaluasi capaian nilai cinta yang holistik—mencakup sikap, moralitas, dan aksi nyata.

Penekanan pada pentingnya guru dan dosen sebagai teladan dan fasilitator implementasi KBC, serta penguatan kolaborasi antara kementerian, kampus, dan masyarakat menjadi best practice kunci.

3. IAIN Palangka Raya

Penelitian dan pengkajian implementasi Kurikulum Cinta di PTKI banyak dilakukan oleh IAIN Palangka Raya, salah satunya melalui studi-studi konseptual dan pilot project yang menganalisis integrasi pendekatan humanistik berbasis kasih sayang ke dalam sistem pendidikan Islam. IAIN Palangka Raya juga mengembangkan modul pembelajaran, pelatihan dosen, dan menekankan evaluasi pada aspek perubahan sikap serta perilaku mahasiswa.

Dampak positifnya adalah meningkatnya motivasi belajar, perilaku kooperatif, dan menurunnya kasus diskriminasi atau konflik antargolongan mahasiswa.

Bentuk Implementasi Utama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Forum akademik dan pengembangan deep learning, pembelajaran kolaboratif dan reflektif, materi empati lintas kurikulum. Penumbuhan iklim kampus inklusif, karakter damai.

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

FGD, rekonstruksi sistem ajar, asesmen karakter, pengembangan strategi evaluasi KBC. Kuatnya karakter humanis, toleran, dan kolaboratif

IAIN Palangka Raya

Penelitian konseptual dan pengembangan modul ajar serta pelatihan dosen. Peningkatan empati, motivasi belajar, keterbukaan mahasiswa

MAN 2 Bantul (madrasah percontohan)

Program Madrasah Cinta Lingkungan, daur ulang, proyek sosial. Pembentukan karakter ekologis, inovatif, dan bermakna

Peran Dosen dan Pendidik dalam Kurikulum Cinta

Pendidik di PTKI mendapat peran sentral dalam keberhasilan Kurikulum Cinta. Mereka bukan sekadar pengelola kelas, melainkan penyemai nilai cinta:

Memberi keteladanan dalam tutur kata, sikap, dan perilaku empatik.

Fasilitator diskusi nilai, pembelajaran reflektif, dan pembimbing pengembangan karakter.

Pencipta ekosistem pembelajaran yang hangat, ramah-perbedaan, dan membangkitkan rasa aman tanpa diskriminasi.

Pengembang materi ajar yang kontekstual, sesuai kebutuhan zaman, dan berakar pada nilai Islam universal.

Pendamping evaluasi dan refleksi, serta pelatih kehidupan sejati bagi mahasiswa dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan pribadi maupun sosial.

Studi Komparatif Internasional

Kurikulum Cinta di Indonesia mendapat pengayaan dari model pendidikan karakter di berbagai negara:

Phenomenon-based Learning di Finlandia (menekankan pendidikan holistik dan keterampilan sosial).

Kokoro Education di Jepang (fokus pada empati dan tanggung jawab sosial).

Te Whāriki di Selandia Baru (pluralisme dan kesejahteraan budaya).

Ethics and Religious Culture di Quebec, Kanada (dialog antarbudaya dan religius).

Kelebihan Kurikulum Cinta adalah* rekayasa integrasi nilai agama (Islam) dengan pendekatan humanisme universal yang adaptif dengan keadaan sosiokultural Indonesia*.

Kesimpulan

Kurikulum Cinta di lingkungan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia merupakan inovasi besar pendidikan karakter yang berpijak pada nilai kasih sayang, empati, dan keberagaman. Kurikulum ini didukung penuh oleh Kementerian Agama, diatur melalui kebijakan strategis, dan diterapkan oleh berbagai PTKI terkemuka seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, serta IAIN Palangka Raya.

Nilai inti—cinta kepada Tuhan, sesama, alam, dan bangsa—menjadi kerangka pembentukan generasi mahasiswa yang cerdas intelektual, matang emosional, nasionalis, ekologis, serta siap menyongsong perubahan global. Dengan pendekatan pedagogi reflektif, partisipatif, dan teladan dosen, Kurikulum Cinta terbukti meningkatkan empati, motivasi belajar, kesejahteraan mental, dan daya saing mahasiswa di era baru pendidikan tinggi Islam.

Tantangan ke depan adalah memperkuat kapasitas pendidik, meningkatkan sinergi lintas sektor, dan melakukan inovasi evaluasi karakter yang lebih autentik dan holistik—agar prinsip-prinsip cinta menjadi ruh hakiki pendidikan Indonesia berabad-abad ke depan.

*Penelitian literatur dibantu oleh IA Premium

**Guru Besar Teknologi Pendidikan UIN Antasari Banjarmasin

0Komentar