Penulis: Jamri
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indragiri Tembilahan, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi
Korupsi di Indonesia merupakan permasalahan serius yang mengancam stabilitas negara, merusak kepercayaan publik, dan menghambat pembangunan ekonomi. Gagasan untuk memberikan pengampunan kepada pelaku korupsi yang mengembalikan kerugian negara, meskipun memiliki dasar pemikiran untuk memulihkan kerugian materiil, harus dilihat dari perspektif ketatanegaraan yang lebih luas. Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis kemungkinan tersebut dengan memperhatikan aspek hukum, moral, dan keadilan sosial, serta implikasi terhadap prinsip-prinsip ketatanegaraan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Tinjauan Hukum dan Ketatanegaraan terhadap Pengampunan Koruptor
Dalam perspektif ketatanegaraan, prinsip supremasi hukum adalah salah satu landasan utama yang harus dijunjung tinggi. Menurut Huda, hukum harus bertindak sebagai instrumen yang tidak hanya mengatur kehidupan masyarakat tetapi juga sebagai pelindung bagi kepentingan negara dan keadilan sosial (Huda S, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, 2015: 127). Dalam hal ini, korupsi merupakan tindak pidana yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat. Memberikan pengampunan kepada pelaku korupsi yang mengembalikan kerugian negara berpotensi bertentangan dengan semangat penegakan hukum yang adil dan tegas, yang merupakan inti dari negara hukum.
Sebagaimana dijelaskan oleh Setiawan, negara hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945), mengandung makna bahwa segala bentuk tindakan negara, termasuk kebijakan pengampunan, harus tunduk pada prinsip keadilan dan tidak boleh merugikan kepentingan umum (Setiawan, Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan di Indonesia, 2020: 102). Pengampunan terhadap koruptor yang hanya mengembalikan kerugian negara bisa menimbulkan ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum, yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang harus dijunjung tinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pengaruh Moral dan Sosial dalam Kebijakan Pengampunan
Dari perspektif moral, pengampunan terhadap koruptor yang mengembalikan kerugian negara berpotensi merusak nilai-nilai etika dalam masyarakat. Menurut Siregar, korupsi bukan sekadar perbuatan yang merugikan negara dalam hal materi, tetapi juga mencederai nilai-nilai moral dan etika yang hidup dalam masyarakat. Korupsi mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara dan dapat menciptakan ketimpangan sosial yang merugikan rakyat (Siregar. A, korupsi dan Etika Hukum di Indonesia, 2019: 78). Dalam konteks ini, memberikan pengampunan kepada pelaku korupsi hanya karena mereka mengembalikan uang negara bisa memunculkan anggapan bahwa tindak pidana besar seperti korupsi dapat diselesaikan dengan uang, yang bertentangan dengan upaya membangun budaya hukum yang bersih dan bermartabat.
Dalam hal ini, teori keadilan distribusi yang dikemukakan oleh Rawls (2001) menyatakan bahwa keadilan dalam masyarakat harus tercermin dalam distribusi hak dan kewajiban yang setara, tanpa adanya perlakuan istimewa bagi individu tertentu (Rawls, A Theory Of Justice, 2001: 15). Pengampunan terhadap koruptor yang mengembalikan kerugian negara dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam penerapan hukum, di mana pelaku yang kaya atau memiliki akses terhadap pengembalian uang negara dapat terhindar dari hukuman yang seharusnya diterima.
Perspektif Keadilan Restoratif dalam Ketatanegaraan
Dari sudut pandang ketatanegaraan, prinsip keadilan restoratif yang lebih menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat mungkin relevan dalam kasus-kasus tertentu. Menurut Zehr, dalam sistem keadilan restoratif, pengembalian kerugian oleh pelaku bisa dianggap sebagai upaya memperbaiki kerusakan yang telah terjadi akibat tindak pidana (Zehr.A, The Litlle Book of Restorative Justice, 2002: 45). Namun, dalam konteks korupsi, keadilan restoratif harus diterapkan dengan hati-hati agar tidak mengurangi efek jera dan memberikan pesan yang salah kepada masyarakat.
Konstitusi Indonesia, melalui pasal-pasal yang mengatur kewenangan lembaga-lembaga negara, menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi (UUD 1945, Pasal 23E). Oleh karena itu, kebijakan pengampunan terhadap koruptor yang hanya mengembalikan kerugian negara dapat dilihat sebagai bentuk ketidaksesuaian dengan prinsip ketatanegaraan yang menginginkan adanya transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial. Pengampunan tersebut berpotensi melemahkan upaya negara dalam membangun sistem hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat.
Implikasi Kebijakan terhadap Ketatanegaraan
Penerapan kebijakan yang memberikan pengampunan kepada pelaku korupsi yang mengembalikan uang negara berpotensi memiliki dampak jangka panjang terhadap ketatanegaraan Indonesia. Dalam jangka pendek, kebijakan ini mungkin tampak menguntungkan dalam hal pemulihan kerugian negara, namun dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh Budiarto, kebijakan pengampunan ini bisa dianggap sebagai bentuk kegagalan negara dalam menegakkan prinsip keadilan dan hukum yang setara bagi seluruh warganya (Budiarto T, Korupsi dan Keadilan Restroraktif, 2018: 65).
Selain itu, kebijakan ini juga dapat menciptakan preseden buruk dalam penanganan kasus korupsi, di mana para pelaku yang memiliki kemampuan finansial untuk mengembalikan kerugian negara mungkin dapat menghindari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Oleh karena itu, kebijakan semacam ini perlu diperhatikan secara cermat agar tidak merusak fondasi ketatanegaraan yang telah dibangun selama ini.
Penutup
Dari perspektif ketatanegaraan, memberikan pengampunan kepada koruptor yang mengembalikan kerugian negara dapat dianggap sebagai kebijakan yang berpotensi merusak prinsip supremasi hukum dan keadilan sosial yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun pengembalian kerugian negara merupakan langkah yang bisa dipertimbangkan dalam upaya pemulihan, hal ini harus dilakukan dengan memperhatikan dampak jangka panjang terhadap integritas sistem hukum dan ketatanegaraan. Oleh karena itu, kebijakan pengampunan harus ditempatkan dalam kerangka yang lebih besar, yang mengutamakan penegakan hukum yang adil, tegas, dan tidak diskriminatif. (RMH)
0Komentar