IKN-Tarakan – Sengketa lahan terjadi di wilayah RT 30 Kelurahan Karang Anyar Pantai, Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Puluhan warga menolak penguasaan lahan seluas 2,3 hektare yang diakui milik HS sebagai pemilik tanah dengan bukti Sertifikat Hak Milik (SHM).
Sebelum diketahui adanya surat tersebut, warga sudah membeli tanah kavling melalui penggarap (pihak ketiga). Jual beli dilakukan warga kepada penggarap dan sempat memiliki peta bidang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2018. Namun peta bidang yang dimilikinya ditangguhkan oleh BPN.
Meski sudah berkali-kali dipertemukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kelurahan Karang Anyar Pantai, tetapi belum ada titik terang dari sengketa lahan yang dulunya merupakan kawasan hutan mangrove tersebut.
Terbaru, penolakan disampaikan lagi dalam pertemuan yang digelar pihak kelurahan bersama warga pada kamis (19/06/25).
Pertemuan itu membahas 33 peta bidang yang dikeluarkan BPN pada tahun 2018, yang belakangan diketahui tumpang tindih dengan sertifikat lama dari Kabupaten Bulungan.
Warga mengaku tidak pernah mengetahui adanya sertifikat lain di atas lahan mereka dan hanya membeli tanah berdasarkan surat dasar yang sah dari pemilik sebelumnya yang salah satunya bernama Rustam.
Lurah Karang Anyar Pantai, Yohanis K. Patongloan, saat dikonfirmasi awak media mengatakan, pihaknya mengundang warga dengan maksud memberi keterangan terkait pencabutan peta bidang dari BPN. Namun hal tersebut mendapat respon penolakan dari warga. "Sudah kami undang warga setempat tapi hasilnya mereka tetap menolak", ucapnya.
Ia menjelaskan, keberadaan peta bidang tahun 2018 itu muncul saat program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) dijalankan di Kota Tarakan melalui pihak ketiga.
Saat itu, sertifikat lama dari Kabupaten Bulungan belum masuk dalam sistem aplikasi BPN sehingga tidak terdeteksi saat penerbitan peta bidang.
“Versi pihak yang mengaku pemilik lama, mereka memiliki sertifikat di atas lahan tersebut. Namun warga di RT 30 membeli lahan dengan dasar surat resmi dan tidak tahu-menahu soal sertifikat itu. Inilah yang memicu penolakan", ujarnya.
Warga meminta agar BPN mengklarifikasi secara terang sertifikat yang diklaim tumpang tindih itu. Mereka juga meminta Pemerintah Kota dan DPRD Tarakan tidak tinggal diam menyikapi sumber sengketa tersebut.
Maklum saja, warga sudah berpuluh tahun mendiami wilayah itu. Sejak masih hutan (mangrove) hingga kini sudah banyak bangunan rumah yang berpenghuni.
Anggota DPRD Tarakan Dapil II Tarakan Barat, sekaligus warga setempat, Hiyatul Rahman Cani yang hadir dalam pertemuan menyatakan, bersedia memfasilitasi warga untuk melakukan rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi I DPRD Tarakan.
“Insya Allah surat permintaan RDP segera kami sampaikan hari ini. Harapan kami, BPN, pihak kelurahan, kecamatan dan masyarakat RT 30 bisa duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini”, ungkapnya.
Menurutnya, sekitar 33 peta bidang atau 45 kepala keluarga di RT 30 terdampak dalam kasus ini. RDP nantinya diharapkan dapat mengungkap siapa pemilik sah atas lahan yang disengketakan tersebut. (Jus)
0Komentar